Perpisahan
Sebelum semua keindahan dikalahkan sebait puisi yang terlahir dari senja, aku memikirkan kata yang bisa menahan sepi. Sebisa mungkin aku be...
Sebelum semua keindahan dikalahkan sebait puisi yang terlahir dari senja, aku memikirkan kata yang bisa menahan sepi. Sebisa mungkin aku belajar memasuki ruang yang mereka punya. Namun amat dalam, tatapan mereka amat mencintai sepi yang membuatnya rajin menepi di hadapan jendela. Maka, jika aku ingin melukiskannya dalam beberapa bait puisi, maka aku kesulitan menjelaskan sepi itu sendiri. Mereka mengajak aku bermain dengan kesendirian, dan menikmati sisa waktu yang kadang memberi tawa, kadang pula memberi tangis. Kurang lebih selama dua bulan, bekerja di Beach Grove Home aku mendapatkan percikan-percikan kehidupan.
Di hari pertama aku datang di tempat ini, aku sedikit kaku dengan kondisi yang ada. Kata dan langkahku sangat terbata-bata, menyusuri ruangan demi ruangan membuatku sedikit kesulitan mengartikan rasa yang kumiliki. Bukan karena tidak menyukai tempat itu, melainkan sesak melihat masa tua yang ditinggalkan lalu diabaikan oleh keluarga. Di tempatkan dalam kamar seadanya, dibiarkan sendiri dan dinding-dinding kamar seolah terpaksa menjadi kawan bagi mereka. Foto-foto keluarga di pajang, seolah menambah sakit yang mereka rasakan. Sepi yang ikut menua tanpa tawa yang menjadikan masa sedikit menyenangkan. Mungkin, merayakan kematian keluarga menjadi sarapan di pagi hari bagi mereka yang menghabiskan waktu di hadapan jendela.
"Apakah usia tua adalah kutukan?"
Aku bertanya dalam hati, seolah aku berdoa untuk usiaku sendiri.
Aku juga teringat dengan sebait kata dari Soe Hok Gie,
Nasib terbaik ialah tidak pernha dilahirkan,
yang kedua dilahirkan tapi mati muda,
dan yang tersial adalah berumur tua
Minggu pertama seolah menjadi masa yang dipenuhi sesak, sulit memasuki dunia mereka. Hingga waktu selalu berbaik hati dengan hati yang ingin belajar. Pikiranku tentang mereka kemudian berubah perlahan. Mereka sangat senang bercerita, dan aku senang mendengar dan melihat bahagia mereka.
Di hari pertama aku datang di tempat ini, aku sedikit kaku dengan kondisi yang ada. Kata dan langkahku sangat terbata-bata, menyusuri ruangan demi ruangan membuatku sedikit kesulitan mengartikan rasa yang kumiliki. Bukan karena tidak menyukai tempat itu, melainkan sesak melihat masa tua yang ditinggalkan lalu diabaikan oleh keluarga. Di tempatkan dalam kamar seadanya, dibiarkan sendiri dan dinding-dinding kamar seolah terpaksa menjadi kawan bagi mereka. Foto-foto keluarga di pajang, seolah menambah sakit yang mereka rasakan. Sepi yang ikut menua tanpa tawa yang menjadikan masa sedikit menyenangkan. Mungkin, merayakan kematian keluarga menjadi sarapan di pagi hari bagi mereka yang menghabiskan waktu di hadapan jendela.
"Apakah usia tua adalah kutukan?"
Aku bertanya dalam hati, seolah aku berdoa untuk usiaku sendiri.
Aku juga teringat dengan sebait kata dari Soe Hok Gie,
Nasib terbaik ialah tidak pernha dilahirkan,
yang kedua dilahirkan tapi mati muda,
dan yang tersial adalah berumur tua
Minggu pertama seolah menjadi masa yang dipenuhi sesak, sulit memasuki dunia mereka. Hingga waktu selalu berbaik hati dengan hati yang ingin belajar. Pikiranku tentang mereka kemudian berubah perlahan. Mereka sangat senang bercerita, dan aku senang mendengar dan melihat bahagia mereka.
"How to make happiness for them?"
Pertanyaan, mesti dijawab. Aku berusaha menjawabnya, entah jawaban itu tepat atau tidak. Sekarang aku, masih berusaha untuk menemukan jawaban itu.
Bertukar cerita dengan mereka, meskipun kadang aku kesulitan mendengar kata yang mereka berikan, sesekali aku meminta bantuan Eliot. Aku lebih banyak bercerita dengan mereka, dibandingkan dengan teman grupku sendiri. Dengan mereka, aku menyusun rindu pada kakek yang telah membesarkanku. Yang telah dipeluk bumi dan bersiap menjadi penghuni surga. Seolah aku kembali ke masa kanak-kanak, tertawa dan diberikan cerita. Aku juga membayangkan diriku duduk di kursi roda, atau ditinggalkan keluarga yang telah sibuk dengan urusan masing-masing.
Hingga pagi tadi, salah seorang dari mereka menanyakan tentang kegiatan kami.
"So, you will be volunteer in here until december? Could you write your email for me"
Dia mengingatkan dengan hari yang tak bisa kutuliskan, "PERPISAHAN".
Waktu senang memberi kejutan, termasuk perpisahan yang dilemparkan padaku.
Tapi aku paling tidak suka dengan perpisahan.
Perpisahan menjadi bagian kehidupan yang mengundang perang batin. Menghadirkan air mata menjadi benang yang mesti kusulam dengan rapi. Karena aku lemah dengan senyum yang melepas kehadiran.
Aku akan menulis, melipat kenangan yang telah mereka berikan.
"it's my email, wawan.kurniawan1992@gmail.com"
Dan dia tersenyum...
3 comments
berpisah sementara ya tak apa kang
Replyyaaa.. yaaaa. SEMENTARA
ReplyKalau untuk software semacam itu banyak sobat, coba sobat menggunakan software FL Audio berikut ini : http://asis-sugianto.blogspot.com/2012/05/fruty-loops-fl-studio-1009-full.html
ReplySemoga dapat memberikan manfaat sobat...