Indonesia dan Kami yang Rindu
“Merindukan tanah air adalah kerinduan yang paling menenangkan dan menyenangkan” Saya masih berusia 20 tahun, seorang anak muda y...
“Merindukan tanah air adalah kerinduan yang paling
menenangkan dan menyenangkan”
Saya masih berusia 20 tahun, seorang anak muda yang tidak ingin menjadi
tua. Saya selalu ingin muda, sebab muda itu membuat kita bisa melakukan banyak
hal dibandingkan dengan kaum tua. Namun, usia adalah keniscayaan, begitu pun
dengan usia. Selama waktu terus berbicara pada nasib kita masing-masing, maka
semua itu akan terus terjadi, hari ini muda dan esok akan menjadi tua.
Pada akhirnya, saya bertemu dengan seorang guru yang senantiasa mengajarkan
saya untuk tetap menjadi muda meski waktu akan membiarkan tua kita datang
menghadang.
Katanya, “Usia dengan angka itu hanyalah bayangan. Usiamu yang sebenarnya
ada pada perasaanmu sendiri. Ingat itu, perasaanmu sendiri” Saya kemudian
memaknai itu dengan mempelajari kehidupannya. Guruku itu senang berbagi dengan
murid-muridnya. Ikut bergabung dan bercerita tentang hal-hal menarik anak muda
zaman sekarang. Guruku itu berbaur dengan nyaman tanpa ada keluhan. Pantas
saja, guruku itu rajin menebar senyum, rajin berbagi, dan terlihat awet muda
padahal usianya sudah beranjak tua, anaknya yang pertama sudah menyelesaikan
studi S-1nya.
Satu hal yang saya dapatkan adalah menjaga perasaan. Semenjak hari itu,
saya berusaha untuk melihat kekurangan diri dan menyadari kemampuan yang saya
miliki.
*
Maret 2012
Saya mengikuti seleksi pertukaran remaja yang diadakan kementrian pemuda
dan olahraga , nama kegiatannya Program Pertukaran Pemuda Antar Negara
disingkat PPAN. Menurut beberapa kawan, di PPAN mencari orang yang ahli dalam
bidang seni, entah itu menari atau menyanyi. Saya bukanlah orang yang ahli
dalam hal menari atau menyanyi, akhirnya saya kembali mengingat pesan guruku
perihal perasaan.
Saya mencoba masuk ke dalam diri, mengenal dan membaca apa yang saya
miliki. Di hari seleksi, saya membawa
hasil fotocopy seluruh tulisan yang dimuat di surat kabar. Pasalnya, saya telah
menemukan diri saya dengan menulis dan alhasil tulisan yang dimuat di surat
kabar membuat saya mandiri dan menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
Saya juga bisa bermain harmonika, gitar, memainkan beberapa alat musik
tradisional seperti kecapi, gendang. Saya juga bisa sedikit bernyanyi. Hingga
akhirnya, perasaan yang awalnya pesimis menjadi lebih optimis.
Perasaan optimis itu kemudian membuat saya berhasil lulus dan dinyatakan
sebagai peserta yang akan mewakili Sulawesi Selatan untuk Program Pertukaran
Indonesia – Kanada (PPIK). Program yang saya ikuti akan berlangsung selama enam
bulan, dengan dua fase yakni Indonesia dan Kanada. Alokasi waktu, Kanada tiga
bulan dan Indonesia tiga bulan. Itu berarti saya akan meninggalkan Indonesia
selama tiga bulan dan ini pengalaman pertama saya keluar negeri.
September – Desember 2012
Di Kanada, tepatnya kota Charlottetown, Prince Edward Island menjadi lokasi
untuk saya dan delapan anggota lainnya sebagai peserta PPIK. Sebelumnya kami
berjumlah sebanyak 27 orang dari beberapa provinsi yang ada di Indonesia.
Selanjutnya kami dibagi dalam tiga kelompok. Setiap kelompok berjumlah sembilan
orang. Kami pun menikmati dan menjalani kondisi yang ada di Kanada.
Kami mesti beradaptasi dengan suhu, makanan, bahasa, dan budaya yang ada di
Kanada. Seminggu berada di Kanada, membuat kami mulai beradaptasi dengan lebih
baik. Sedikit demi sedikit, rasa rindu akan keadaan tanah air muncul perlahan.
Mulai dari makanan, kami sepakat bahwa makanan Indonesia lebih enak
dibandingkan di Kanada.
Gambar 1.5 Rindu Masakan Indonesia di Kanada
Hingga kemudian kami memiliki inisiatif untuk memasak masakan Indonesia
bersama-sama. Bukan main, kami mengobati rindu dengan masakan Indonesia.
Gambar 2.5 Kecapi di Kanada
Gambar 3.5 Tari Seribu Tangan
Di akhir program fase Kanada, kami menampilkan berbagai pertunjukan seni
yang menggambarkan kekayaan budaya dari Indonesia. Saat itu, saya sadar akan
banyak hal tentang Indonesia. Pertama, selama ini saya tidak melihat Indonesia
dengan sudut pandang yang sebenarnya. Saya teringat dengan ucapan seorang
motivator terbaik.
“Dari jauh jejeran gunung itu terlihat
sangat indah, memesona. Tapi ketika kamu berdiri di puncak gunung, kamu tidak
akan bisa melihat keindahannya”
Saya menghubungkannya dengan rasa yang mendesak keras dalam dada, rasa yang
rindu dan sadar akan Indonesia sebenarnya. Ibaratkan Indonesia adalah gunung,
saya selalu berada di puncak, bermukim dan tak pernah meninggalkan puncak.
Hingga akhirnya saya berpindah tempat dan menemukan pemandangan yang mestinya
saya nikmati jauh hari sebelum sekarang. Indonesia negara yang punya banyak
harapan untuk menjadi lebih baik dari sekarang.
Kedua, saya bangga dengan budaya yang dimiliki Indonesia. Saya belajar tari
saman dari Aceh, saya bisa memainkan angklung dari Jawa Barat, saya bisa menceritakan
upacara Kematian yang meriah di Toraja, Sulawesi Selatan. Orang Kanada, bahkan
bangsa lainnya akan iri dengan apa yang kita miliki. Mereka tidak berhenti
memberikan pujian atas Indahnya Indonesia. Terkadang saya berpikir bahwa orang
Indonesia kurang bersyukur atas apa yang Indonesia miliki. Kami lebih rajin
mencemooh atau menyesali keadaan tanpa berusaha keras untuk berubah dan
mengembangkan diri, semua itu seolah menutup berlian dengan sampah.
Gambar 4.5 Selepas Peringatan Sumpah Pemuda
Ketiga, saya merasakan nasionalisme tumbuh menjalar dalam darah. Bukan
hanya saya yang merasakan itu, melainkan peserta yang lainnya. Hal ini terlihat
saat kami melaksanakan upacara peringatan SUMPAH PEMUDA bersama teman-teman
dari Kanada. Kami menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan beberapa lagu Nasional.
Air mata tak terbendung merasakan dan mendengarkan arti dan nada yang tersimpan
dalam lagu “Tanah Airku”. Perasaan akan Indonesia menguat, dan semakin kuat.
Keempat, selain nasionalisme ada rasa lain yang muncul. Optimisme akan masa
depan bangsa Indonesia. Bangsa ini punya segalanya, Sumber Daya Manusia dan
Sumber Daya Alam tersedia, cukup dikembangkan dan dikelola dengan maksimal. Kerinduan
akan Indonesia adalah pintu untuk melihat wajah Indonesia sebenarnya. Merindukan
tanah air adalah kerinduan yang paling menenangkan dan menyenangkan.
Gambar 5.5 Optimisme dan Rindu Untuk Indonesia
Sepulang dari Kanada, rindu yang baru kemudian lahir, yakni melihat
Indonesia menjadi negara yang tangguh, negara yang bermartabat, negara
terpandang di mata dunia. Dan memberikan pengaruh besar dalam terciptanya
perdamaian dunia. Akan terwujud miniatur dunia, dari semboyan Bhinneka Tunggal
Ika. Saya berjanji akan menjaga perasaan ini, menjaga segala rasa yang ada
untuk Indonesia.
“Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya” petikan puisi Joko
Pinurbo akan menuntun saya untuk terus membangun Indonesia. Kelak rindu itu
akan terobati setelah optimisme yang saya miliki terwujud dan bukan sekedar
mimpi. Amin.
Tulisan tersebut mendapatkan Juara III dalam Lomba Penulisan "Kebanggaan Bangsa Indonesia" yang diselenggarakan oleh @opini.co.id
2 comments
wouwww...inspiring post, Kak.. :)
Replykeren daaah...
Reply