Menceritakan Kegelisahan
Sore itu, aku datang terlambat dalam sebuah kelas baru. Sepenuhnya, aku tak mampu menjelaskan apa yang akan terjadi dan bagaimana kelas itu...
Sore itu, aku datang terlambat dalam sebuah kelas baru. Sepenuhnya, aku tak mampu menjelaskan apa yang akan terjadi dan bagaimana kelas itu berlangsung. Kali ini, aku kembali mengingat pertanyaan pertama yang aku jawab dan tak lama setelah itu, kelas berakhir. Pada suatu pagi, mungkin aku akan bangun lebih cepat dan menuliskan semuanya dengan lebih baik dari sekarang.
"Kenapa kita gelisah?"tanya seorang lelaki yang memimpin kelas kami.
Jawaban yang kuberikan sore itu, adalah sesuatu yang terburu-buru dan terkesan sangat buruk. Aku hanya memaparkan sejumlah teori-teori psikologi yang tak sepenuhnya benar di kelas itu. Namun, mereka (yang jumlahnya tak lebih dari sepuluh) dengan tenang menyimak, diikuti anggukan kepala. Sebenarnya, aku tak begitu pandai menjelaskan atau menceritakan tentang kegelisahan. Beberapa bulan terakhir ini, aku nyaris melupakan perasaan gelisah lantaran hendak menikmati sesuatu yang kucari.
"Ada gelisah yang kusimpan, dan ada gelisah yang kubuang begitu saja" itu jawaban penutupku.
Sejenak, setelah pertanyaan itu ditujukan padaku, aku pun mulai kembali mengingat apa yang ada di kepalaku. "Pernahkah aku merasa gelisah?"
Aku melontarkan pertanyaan itu berulang-ulang, sepulang dari kelas itu. Aku bahkan bertanya pada seorang teman yang saat itu kutemui.
"Apakah kau merasa gelisah?" tanyaku.
"Tidak, kenapa?"
Sebelum tidur, aku kembali mengulang pertanyaan tentang gelisah. Hingga hari ini, aku kembali bertanya tentang itu. Aku gelisah pada sesuatu yang tak pernah kupahami. Sesungguhnya, aku hendak menceritakan kelas pada sore itu. Namun, aku masih sulit menjelaskannya. Jika ada kesempatan, aku hendak menuliskan kelas itu dengan lebih baik.
Jika kita bertemu pada suatu waktu yang tak menentu, siapa pun engkau, mungkin aku akan bertanya,
"Maukah kau menceritakan kegelisahanmu?"
Dan aku akan mendengarnya dan belajar dari jawaban itu.
*Ini mungkin kusebut Patrimonio, kutulis catatan ini di rumah seorang teman, Tidung IV.
Post a Comment: