Meliburkan Diri Sebagai Manusia
Soppeng , kita butuh sekitar empat jam perjalanan darat dari Kota Makassar. Menjelang hari kemerdekaan, saya pulang beberapa hari. Menepati...
Soppeng, kita butuh sekitar empat jam perjalanan darat dari Kota Makassar. Menjelang hari kemerdekaan, saya pulang beberapa hari. Menepati janji kepada dua orang lelaki kecil yang masih sibuk belajar untuk belajar. Saya melihat mereka berdua menikmati perayaan merah putih dan berbagai hal yang ada di sana. Saya seperti meliburkan diri, tidak memikirkan hal - hal yang semestinya harus ada di kepala saya. Hingga saya menulis ini, saya masih meliburkan diri. Menjadi Wawan cukup melelahkan dengan berbagai urusan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan yang saling berebut tempat dalam kepala dan dalam hatinya. Beruntung, hari merdeka membuat saya belajar untuk tidak menjajah diri saya dengan keluar tidak menjadi Wawan.
Labessi, itu nama kelurahan yang punya banyak hal menarik. Di sana ada beberapa tempat dan peristiwa yang siap untuk dinikmati para pecinta sejarah. Selain itu, saya juga masih berjuang bersama beberapa orang teman untuk tetap menghidupkan Rumah Literasi yang sudah mencapai usia satu tahunnya. Anak - anak datang tak lagi membaca, kecuali bermain atau saling bertukar cerita. Mereka membaca jika ada sesuatu yang menarik, atau kegiatan rekreatif seperti Perahu Baca beberapa waktu lalu. Walhasil, saya merasa butuh untuk kembali bertukar ide dengan teman - teman untuk mendapatkan solusi untuk anak - anak di Rumah Literasi. Harus lebih kreatif dan lebih inovatif.
Batua Raya, di Makassar anda mungkin akan mudah menemukan tempat itu. Sesekali saya melihat anak muda yang senang dengan sesuatu yang lebih memacu adrenalin. Keributan atau perkelahian sebetulnya hanya bentuk kesakitan mental yang kadang tidak kita pahami dengan baik dan bijak. Mereka terus menang dan merdeka di jalan yang dianggap sudah baik, miris. Tapi di sisi lain, ada banyak keragaman masyarakat yang membuat semuanya menjadi lebih terasa membahagiakan. Di sini, ada beberapa suku yang tergabung dan mampu hidup rukun. Saya juga menemukan tempat yang penuh dengan ketenangan, samping kanan rumah saya terbentang sawah. Begitu pula di bagian depan, belakang. Hampir dikelilingi pemandangan hijau yang menyegarkan. Kapan - kapan, anda boleh berkunjung di rumah saya. Saya cukup baik kepada tamu saya, mungkin.
Makassar, saya senang melewati jalan - jalan yang masih menikmati rindang pepohonan. Meskipun kemacetan telah menjadi bagian dari kota ini, saya masih menikmati Makassar dengan cara saya sendiri. Masih ada banyak alasan yang bisa saya temukan untuk mengatakan jika "Saya rindu Makassar" Saya menyukai teman - teman yang saya temukan di kota ini. Mereka hangat dan penuh mimpi. Saya kadang merasa bersalah karena terlalu sering memandang Makassar sebagai kota yang mengerikan dengan segala kutukan kepada ini dan itu. Pada akhirnya, saya bisa menulis semua ini lantaran berhasil untuk tidak menjadi Wawan. Sore tadi, akan lebih nikmat rasanya jika kita sebagai manusia bisa berlibur dan lupa bahwa kita adalah manusia.
Bagaimana jika kita berpura - pura menjadi kaleng bekas di tengah jalan, atau pohon kecil yang tak sempat diperhatikan oleh pemiliknya, terabaikan. Bagaimana?
Post a Comment: