Dua Hal Setelah Membaca Wawancara Faulkner
Selepas shalat Magrib saya melanjutkan membaca wawancara Wiliam Faulkner di Paris Review. Setelahnya, saya menemukan beberapa hal menarik. ...
Selepas shalat Magrib saya melanjutkan membaca wawancara Wiliam Faulkner di Paris Review. Setelahnya, saya menemukan beberapa hal menarik. Semua itu saya rasa akan lebih menarik jika saya catat di sini. Namun mencatat apa yang menarik menurut saya, bukan hal yang mudah. Saya sulit untuk menentukan hal mana yang harus saya tulis lebih dulu. Ini pun hanya catatan dari pengalaman saya setelah membacanya, jika anda ingin membaca silakan klik di sini.
Baiklah, ada beberapa hal penting dari isi wawancara itu. Namun ada dua hal yang ingin saya tanggapi. Pertama, adalah saya melihat sikap Faulkner yang keras dan punya semangat yang patut diteladani untuk menjadi penulis besar. Ia menyarankan untuk tidak mencoba setara dengan penulis masa kini atau pun penulis di masa lalu, penulis besar sedari awal selalu ingin melampaui apa yang ada. Saya rasa, penting jika kita membuat target akan jalan yang kita pilih saat berkecimpung dalam dunia tulis menulis.
Kedua, Faulkner memilih tidak membaca buku yang ditulis atau terbit pada masanya. Ia hanya membaca buku-buku yang ia anggap baik. Dan ini jawaban Faulkner sewaktu ditanya tentang membaca buku masa kini.
“No, the books I read are the ones I knew and loved when I was a young man and to which I return as you do to old friends: the Old Testament, Dickens, Conrad, Cervantes, Don Quixote—I read that every year, as some do the Bible. Flaubert, Balzac—he created an intact world of his own, a bloodstream running through twenty books—Dostoyevsky, Tolstoy, Shakespeare. I read Melville occasionally and, of the poets, Marlowe, Campion, Jonson, Herrick, Donne, Keats, and Shelley. I still read Housman. I’ve read these books so often that I don’t always begin at page one and read on to the end. I just read one scene, or about one character, just as you’d meet and talk to a friend for a few minutes.”
Saya tak tahu pasti mengapa Faulkner memilih tidak membaca buku masa kini, namun itu bisa jadi terkait selera atau jelas adalah usaha melampaui penulis lain. Namun, bukan hanya Faulkner yang berpikir seperti itu, ada beberapa penulis yang melakukan hal yang sama. Setelah ini, saya hanya berpikir untuk lebih selektif dalam bacaan. Pun saya selektif, jika belum punya waktu luang tetap saja percuma. Membeli buku berarti harus berani menyediakan waktu lebih untuk membacanya.
Jorge Luis Borges sendiri percaya jika menemukan kebahagiaan itu ada di lembar-lembar buku yang ia baca, mengapa kita tidak menemukan bahagia di tempat yang sama?
Post a Comment: