Albert Camus dan Masa Menuju Absurditas
Albert Camus kerap disebut sebagai filsuf dengan aliran eksistensialisme. Namun sebenarnya, Camus tak begitu menerima penyematan tersebut. Dirinya lebih senang disebut sebagai esais. Meskipun, di Indonesia sendiri kita cenderung lebih mengenal Albert Camus melalui novel-novelnya yang banyak diterjemahkan.
Bahkan setelah pandemi korona merebak, Sampar (La Peste), salah satu novel terbaiknya, kembali menjadi bahan perbincangan dan diskusi. Sebuah novel yang juga menceritakan masa-masa pandemi di daerahnya.
Sampar bercerita tentang sebuah kota di sebelah barat Aljazair bernama Oran yang dilanda wabah pes akibat baksil pada tikus. Melalui tokoh-tokoh dalam novelnya ini, kita diajak untuk melihat berbagai respon yang ditunjukkan berbagai karakter dalam menghadapi absurditas yang terjadi di masa pandemi.
Albert Camus juga menjadi salah seorang yang menerima penghargaan nobel sastra di tahun 1957 di usianya yang saat itu masih 44 tahun. Dia menjadi orang kedua termuda yang menerima nobel sastra setelah Rudyard Kipling yang berusia 42 tahun. Sosoknya bukanlah hal yang asing dalam dunia sastra Indonesia, belakangan setelah novel-novelnya diterjemahkan, beberapa esai yang memuat gagasan serta keresahannya mulai diterbitkan.
Salah satu yang menarik dan baru-baru ini diterbitkan adalah kumpulan esainya yang ditulis semasa dia masih berusia dua puluhan tahun. Buku esai yang kemudian berjudul “Kota-Kota tanpa Masa Lalu” diterjemahkan dari kumpulan esainya yang ditulis pada tahun 1935 dan 1936. Kala itu usianya dua puluh dua tahun. Seperti halnya membaca esai-esai menarik lainnya, selalu ada kisah dan gagasan yang silih berganti menyapa para pembaca.
Dalam buku ini pula, kita sebenarnya bisa menarik jejak perjalanan serta pemikiran seorang Albert Camus di masa mudanya. Pemikiran tentang absurdism yang dia jelaskan bisa kita temukan dalam beberapa catatan perjalanannya.
Camus punya serangkaian tempat yang secara tidak langsung memberinya pengaruh dalam merespon masa dan situasi yang ada. Misalnya saja, Camus menceritakan tempat lahirnya, di sebuah daerah yang terbilang sengsara pada masa itu. Tempat yang masih dijajah oleh bangsa Prancis, di tempat itulah penderitaan menjadi sesuatu hal penting bagi dirinya. Tidak seperti orang pada umumnya, cara Camus menanggapi situasi pelik tampak berbeda.
Bila berangkat dari esainya yang paling terkenal, le Mythe de Sysiphe, Camus seperti merangkum sebuah perjalanan panjang yang dia lalui sebelumnya. Di masa mudanya, esai-esai yang berlatar peristiwa, tempat, dan kejadian penting dalam hidupnya disatukan dalam buku “Kota-Kota tanpa Masa Lalu” Di bagian awal buku ini, Camus bahkan menceritakan tentang ironi, kematian, dan hal-hal mendasar yang sebenarnya akan semakin tajam dalam esainya tentang Sisifus.
Harapan dan idealisme masa muda Albert Camus dapat kita telaah dalam beberapa esai, bila lebih jauh lagi, pandangan absurditas Camus akan lahir dari berbagai kesadaran peristiwa yang dikemas dalam perenungan serta kegelisahan yang dia alami. Beberapa tempat penting juga dikisahkan Camus dalam esai-esainya, seperti Praha, Palma, Tipasa, Djemila, New York, dan tentu saja dia bercerita tentang tempat kelahirannya Aljazair.
Di New York misalnya, Albert Camus merasa jika suasana yang dia rasakan begitu kuat saat melihat langit dan hujannya. New York terasa sebagai kota yang menyimpan hujan bagi para eksil. Di akhir esainya tentang kota itu, Camus menerangkan jika di kota ini dia merasakan gairah dan kesenangan yang membebaskan. Seolah ini menjadi langkah awalnya untuk meraih situasi yang hendak dia capai dalam absurditas hidupnya.
Kota-kota tersebut menjadi titik pijak seorang Albert Camus dalam merancang pemikirannya sendiri tentang hidup. Betapa hidup penuh tuntutan-tuntutan dan harapan yang irasional. Selain memahami pikiran-pikiran masa muda Camus, dalam buku ini kita akan bersentuhan setidaknya dasar dari gagasan Camus tentang kematian. Bahkan dua esai yang cukup panjang menceritakan tentang kematian dari pengalaman yang dia lalui.
Seperti halnya yang terjadi dengan salah satu novelnya di masa pandemi ini, pikiran Albert Camus dapat hidup melewati masa yang jauh dari titik pijaknya. Kota-kota tanpa masa lalu, menjadi sesuatu yang sebenarnya menyimpan pesan untuk masa depan. Bagi seorang Camus, pemikiran masa lalu membawa kita pada ruang menuju absurditas untuk memahami bagaimana hidup dan situasi yang akan terjadi selanjutnya.
Selepas membaca esai-esai dalam buku ini, melanjutkan untuk membaca novelnya kembali sepertinya akan menyenangkan. Penjabaran Sisifus dalam novelnya yang berjudul l’Etranger dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, sebagai Orang Asing, juga akan menjadi pengalaman yang mengesankan.
Namun, jika ingin lebih mendalami pandemi dan memahami situasi dalam gagasan yang ada di kepala seorang Albert Camus, novel Sampar kiranya akan menjadi pilihan yang tak kalah serunya. Berbagai penjualan novel ini di luar negeri bahkan meningkat. Di Inggris, penjualan buku La Peste melonjak tajam sampai di angka 2.156 yang sudah terjual di awal Maret 2020. Hal itu pun terjadi di Prancis, Amerika Serikat, dan beberapa negara lainnya.
Di tengah ketidakpastian pandemi ini, kita barangkali akan bersepakat pada pemikiran-pemikiran Albert Camus. Namun, memasuki dunia alam pikirnya jauh lebih baik dibanding tiba pada kata sepakat atau hal-hal lain yang ada.
Lebih jauh dari itu, manusia pemberontak, melawan hal-hal yang mengurung, akan jadi serangkaian ketika menjelajahi gagasan Albert Camus. Sepertinya kita tiba pada masa menuju absurditas kita masing-masing. Selamat sampai tujuan!
Post a Comment: