Sebuah Blog Hanyalah Blog, Titik! Tapi Tunggu Dulu…
Sebelum domain berakhir, saya sempat berpikir untuk menutup dan mengakhiri semua ini. Saya mengira sudah saatnya berhenti. Tapi tidak semudah itu. Rasanya ada pola yang berulang.
Entah mengapa, setiap kali batas akhir pembayaran, biasanya ada saja dana yang tak terduga masuk di kantong. Dan jadilah, fix!
Saya bisa saja rutin menulis di medium, atau tempat lain yang gratis. Membuat blog lalu memberikannya domain pribadi bisa terasa percuma, mendekati sia-sia. Hanya saja, setelah duduk merenung beberapa saat, saya bisa menemukan beberapa alasan untuk tetap bertahan, selain urusan self-branding dan hal-hal lain di sekitarnya.
Di usia blog saya yang sebenarnya sudah terbilang tua, saya punya banyak kenangan dan kesempatan untuk kembali bercermin. Melihat siapa Wawan yang kemarin, dan siapa Wawan hari ini? Dalam prosesnya, saya sudah menyimpan beberapa postingan, melakukan kurasi dan membuat blog ini tampak lebih rapi, hanya saja itu belum maksimal. Pada dasarnya, saya berusaha untuk memperlihatkan wajah blog saya dengan lebih update. Sesuatu yang bisa menggambarkan saya hari ini. Beberapa waktu lalu, saya rutin menulis artikel tentang psikologi politik, beberapa akhirnya saya simpan di blog.
Beberapa puisi lama saya, yang terasa sangat buruk – meski sekarang juga tetap buruk – saya simpan dan museumkan. Saya membiarkan blog ini seperti tempat kerja bagi diri saya sendiri. Namun, lebih dari itu, saya merasa urusan blog membuat saya selalu mengingat orang-orang yang mendorong saya bermain blog. Saya pernah ikut komunitas, menang lomba artikel, dan yang lebih istimewa, saya dekat dengan salah seorang guru SMA yang waktu itu tampak sulit untuk didekati.
Guru saya itu, sebenarnya adalah guru Kimia, lalu merangkap sebagai guru Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Dulu, di awal tahun 2007, beliau punya akses langsung di laboratorium komputer, di sana dia mulai belajar secara otodidak terkait urusan blog. Saya sudah bermain blog sebelum mengenal beliau, tapi saat berinteraksi langsung dengan beliau, urusan blog menjadi tampak lebih serius. Saya akhirnya belajar menulis S.E.O, belajar mengejar page rank (pencapaian tertinggi saya, sempat meraih posisi 3/10), mengatur peringkat alexa, dan beberapa tips trik mendapat dollar kala itu. Saya curiga, ada sekian persen dari optimisme beliau yang membuat saya merasa bisa hidup dan kaya dari menulis, dan ini membuktikan bahwa harapan bisa jadi jebakan yang nyata. Dan inilah saya, menulis, menulis, menulis.
Kesenangan bermain blog kala itu bisa menjadi potongan kisah yang bermakna. Saat seorang blogger lain datang membaca catatanmu lalu memberi komentar (meski kadang komentar itu hanya untuk mengejar backlink) tapi interaksi itu tetap terasa hidup. Waktu bisa terasa lebih lambat, tidak seperti saat bermain instagram, tiktok, atau media serupa. Sekarang, sepertinya masih ada beberapa orang yang melakukan hal demikian. Saya tidak bermain itu lagi. Barangkali, tidak ada salahnya untuk mencoba kesenangan itu suatu saat nanti.
Sebuah Blog Hanyalah Blog, Titik! Tapi Tunggu Dulu…
Saya akhirnya menulis lagi dengan judul di atas. Tahun 2021 atau 2022 kemarin saya masih sempat berdiskusi dengan beliau, meski tidak lagi membahas blog. Beliau banyak bertanya tentang apa yang saya lakukan selepas kuliah dan rencana-rencana saya. Kami bercakap sembari beliau memberi makan ikan-ikan yang ada di kolam sekolah. Di saat yang bersamaan, kepala saya sibuk memikirkan A, B, C, hingga kembali ke A lagi.
Untungnya, saya belum menghentikan domain ini, dan saya masih bisa menulis atau bermain blog. Rasa-rasanya, blog ini bernyanyi:
But don't you remember?
Don't you remember?
The reason you loved me before
Baby, please remember me once more
Nah, sudah saatnya belajar menulis blog lagi. Memang, setelah melunasi domain, ada dorongan untuk lekas menulis agar bisa menutupi rasa bersalah atas niat yang gagal terpenuhi untuk rutin menulis. Sekarang, tidak ada salahnya memulai itu lagi, jika gagal, kita coba lagi, jika gagal lagi, kita coba lagi dan lagi.
Sebelum tulisan ini terasa bertubuh atau menjelma jadi seorang motivator, sudah waktunya saya pamit undur diri. Kita tulis apa lagi besok?
Post a Comment: